M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior

JLEEEEB. Keris yang belum sempurna itu menancap di tubuh Mpu Gandring, sang pembuat keris. Ken Angrok, berdiri didekatnya dengan tangan berlumuran darah.

"Terkutuk. Keris itu akan memakan korban tujuh turunanmu!" kata Sang Mpu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Meski ada rasa penyesalan yang mendalam, tapi kutukan tak terhindarkan. Maka, bukan hanya Ken Angrok sendiri yang tewas ditikam oleh orang suruhan Anusapati, anak Tunggul Ametung, tapi keris benar-benar seperti kutukan sang Mpu.

Korban terus berjatuhan hingga akhirnya terhenti setelah enam nyawa melayang. Di ujungnya, Kerajaan Singasari dan Kediri akhirnya bersatu di bawah Rangga Wuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana dan Mahisa Cempaka memimpin kedua negeri itu dengan bijak. Buku catatan Negarakertagama mengibaratkan keduanya seperti dewa Wisnu dengan dewa Indra.

'Kutukan PSSI'

Mungkin analogi di atas kurang tepat, tapi PSSI, kecuali di era Pak Kardono, selalu saja gaduh. Persis seperti ada kutukan di tubuh PSSI. Organisasi yang lebih tua 15 tahun dari NKRI, itu selalu saja begaduh.

Di awali di era Bardosono, Sesdalobang Presiden Suharto (1975-77), Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jaya (1977-81), Syanoebi Said, pengusaha otomotif Mitsubhisi (1982-83), semuanya berjalan dengan gejolak dan gaduh.

PSSI mengalami masa tenang di era Pak Kardono. Selama delapan tahun (1983-91) nyaris tak ada keributan yang berarti. Bahkan, Kardono nyaris memimpin PSSI untuk ketiga kalinya. 

Namun usahanya batal, bukan gagal, tiba-tiba muncul calon yang didukung istana, Azwar Anas. Kardono yang masih kuat memegang tradisi Jawa, membatalkan niatnya.

Di era Kardono pula PSSI dua kali meraih medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Tidak hanya itu, di era Kardono juga KTB menempati posisi ke-3 antar klub Asia. Dan di era ini juga Indonesia bisa lolos sub-grub 3B, Pra Piala Dunia.

'Kutukan'

Setelah itu, pada era Azwar Anas, awalnya berjalan mulus, tapi di penghujung gejolak mulai terasa. Buntutnya AA mengundurkan diri di tahun terakhirnya 1991- 1999. Posisinya diganti oleh Agum Gumelar, 1999-2003, AG juga tak luput dari gejolak, meski tetap dalam batas tertentu.

Di era Nurdin Halid, 2003-2011, PSSI seperti memasuki periode gunjang-ganjing. Diawali dengan kasus di luar PSSI, tapi dampaknya sangat besar ke dalam. Persis seperti kita sedang naik pesawat udara, ada turbulensi. Pesawat bergoyang sangat kuat.

Puncaknya 2009-2010, kantor PSSI di sisi pintu merah stadion Utama GBK, hampir setahun digruduk para pendemo. Demo yang jelas dikoordinir. Apa buktinya? Mereka datang bergelombang menggunakan bis-bis wisata yang bagus-bagus. Harganya tentu sangat mahal untuk ukuran suporter.

Ada akomodasi di kotak-kotak dengan brand rumah makan ternama. Ada amplop-amplop putih bekas angpao. Sekali waktu, ada kelompok mania tertentu sambil bernyanyi, lalu bersama-sama mengeluarkan uang lembaran ratusan ribu yang masih licin. Uniknya rata-rata sama, dua lembar merah dan satu lembar biru.

Mereka demo selalu dimulai jam 11.oo hingga jam 21.oo. Padahal biasanya demo dibatasi sampai jam 18.oo. Tidak hanya itu, mereka juga boleh bermalam di Parkir Timur dan hebatnya ada pengawalan. Selain itu, disiapkan fasilitas mobiling toilet dalam jumlah yang memadai.

Tidak hanya itu, di saat bersamaan lahir liga abal-abal. Mereka menggelar kompetisi tandingan. Ada dua klub resmi yang karena ada hil yang mustahal malah ikutan liga abal-abal, beruntung masih diampuni oleh PSSI.

Ujungnya Nurdin dan dua kandidat dari luar PSSI, dilarang FIFA untuk maju. Larangannya jelas satu pihak dianggap tidak bisa menjaga organisasi hingga pemerintah ikut campur. Sementara yang satu terbukti membuat lembaga tandingan yang sangat tabu bagi FIFA. 

Profesor Djohar Arifin terpilih 2011-2015. Tapi, hanya sekitar enam bulan, keretakan kembali terjadi. La Nyalla, yang awalnya jadi motor utama melawan Nurdin, bergabung dengan KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia), Desember 2011. Catatan, KPSI adalah pihak yang saat Nurdin didemo, berada dalam kubu itu.Tak heran jika, klub-klub utama justru ada di KPSI.

Beruntung akhirnya terjadi perdamaian. Tapi, tahun 2014, mulai lagi terjadi tarik-menarik, menjelang kongres di hotel JW Marriot, Surabaya. Tanggal 18 April 2015, La Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum PSSI. Awalnya ada beberapa kandidat, tapi di ujungnya hanya Syarif Bastaman yang tetap maju menantang La Nyalla yang sebelumnya menjadi wakil ketua umum.

Kongres awalnya akan dibuka Wapres, JK, tapi di hari H, wapres batal hadir. Padahal seluruh protap perlengkapan pengamanan dan keamanan sudah terpasang rapi. Bahkan para petugas sebagai mana protokol wapres, juga sudah di tempat.

Hanya sehari, kepengurusan La Nyalla langsung goyang. Menpora, Imam Nahrawi secara tegas tidak mengakui kepengurusan PSSI. Organisasi itu telah dibekukan oleh pemerintah, sehari sebelum kongres luar biasa itu.

Imam mengatakan bahwa status PSSI setelah 17 April 2015 adalah organisasi yang dibekukan. Dengan sendirinya segala aktivitas sesudah surat itu dirilis tidak memiliki kekuatan hukum. Saat PSSI dibekukan, ketua umumnya dijabat oleh Djohar, bukan La Nyalla.

Tapi, bukan La Nyalla jika tidak melawan. Berpegang dengan slogan orang Sulsel, Sekali layar terkembang, surut kita berpantang! . Biduk PSSI terus bergerak.

Ujungnya kita sama-sama tahu, Edy Rahmayadi terpilih menjadi Ketum PSSI. Sungguh, sejak 1979, inilah kongres PSSI di mana keterlibatan unsur non-sepakbola sangat dominan. Seperti 2015, hanya tersisa seorang Moeldoko melawan ER.

Jujur, saat itu, saya sedih melihat Moeldoko. Ia datang hanya ditemani saya, seorang wartawan sepakbola senior. Duduk tanpa ada pihak yang menegur atau menyapanya. Moeldoko seperti orang asing di tengah kongres di Ancol itu.

Bahkan, mereka yang beberapa bulan lalu, saat masih menjabat Panglima TNI, selalu mengelu-elukannya, semua menjauh. Voters yang katanya sudah berjumlah 77 akan mendukung Moeldoko, juga tak satu pun merapat. Sehari sebelum kongres, saya sampaikan keraguan pada Pak Leonard, purnawirawan bintang dua yang membantu semua proses. 

Persis seperti dugaan saya sebelumnya, ER yang nota-bene anak buah dan junior Moeldoko, menang mutlak. Mantan panglima itu meninggalkan tempat bersama saya yang hanya seorang wartawan senior.

Persis seperti kutukan, PSSI tak ajeg. Goyangan terus terjadi. Goyangan semakin keras setelah ER tak lagi menjadi Pangkostrad. Goyangan bertambah dahsyat saat ER resmi menjadi Gubernur Sumut. Akhirnya ER mundur.

Persoalan ternyata tak kunjung reda. Polri yang membentuk tim anti mafia bola, melakukan gebrakan. Plt. Ketum Joko Driyono, meski bukan karena menjadi bagian mafia, tersapu setelah memerintahkan anak buahnya menerobos police line. Ya, ujungnya bisa kita tebak, PSSI kembali ruwet. Setelah berjalan sempoyongan tanpa pemimpin tertinggi, Mochamad Iriawan atau biasa disapa Iwan Bule, 2 November 2019, terpilih sebagai ketum.

Meski secara aklamasi 82:3 abstein dari 85 suara, tapi terpilihnya Ibul, sesungguhnya tidak mulus-mulus amat. Ada banyak kisah dan gejolak. Selain peran non-PSSI seperti saat ER terpilih, peran Ratu Tisha selaku sekjen sangat besar. Tisha berhasil meyakinkan Presiden FIFA, Gianni Infantino bahwa saat kongres berlangsung PSSI sudah on the track. 

Itu sebabnya, untuk pertama kali kongres PSSI dan mungkin pula kongres federasi lainnya seorang Presiden FIFA menyampaikan pidato melalui rekaman. Itu sebabnya pula, Menpora Zainudin Amali yang belum sebulan memangku jabatan tak ragu membuka dan merestui kongres ini.

Saya tak ragu mengatakan bahwa peran Tisha sangat besar, karena untuk pertama kali juga (sepengetahuan saya) ada seorang sekjen mundur dari federasi yang biasa-biasa saja, menyurati FIFA dan dijawab langsung oleh sang presiden. Isi balasan Infantino juga cukup memperlihatkan bahwa keduanya sangat dekat. Ratu Tisha sendiri akhirnya ikut tergilas dan terpaksa mengundurkan diri.

Senin, 13 April 2020, Tisha resmi meninggalkan PSSI.

Tidak sampai di situ, kegaduhan di tubuh PSSI makin hari semakin terbuka. Awalnya masih bisa disembunyikan, tapi saat ini semua calon petaka sudah di atas meja. Publik menjadi tahu bahwa diam-diam sekam itu makin membara.

Mulai dari persoalan nepotisme, tumpang tindih jabatan, ketidakpercayaan untuk delegasi tugas, dan janji kampanye yang tak terpenuhi, semua berserak di atas meja. Beruntung ada kasus pandemi corona, jika tidak maka PSSI dapat dipastikan akan kembali babak-belur.

Pertanyaannya, mau sampai kapan semua ini dibiarkan terjadi? Mau dibawa kemana sepakbola kita? Jangan lupa 13 bulan mendatang jika pandemi bisa berakhir, kita akan jadi tuan rumah Piala Dunia U20.

Persiapan yang tidak mudah. Pekerjaan yang membutuhkan kekompakan. Gawe yang membutuhkan jalur-jalur khusus dengan FIFA. Kerja besar yang membutuhkan peran pemerintah sangat besar pula. 

Jika para punggawa PSSI tidak segera mampu membatasi diri, mampu meredam ego, mampu untuk mengalah, maka, semua bisa bubar jalan.

Ayooo, saling berjabat tangan, saling berpelukan, meski hanya secara virtual, karena Pandemi melarang kita bersentuhan. Segeralah perlihatkan bahwa PSSI saat ini bukan PSSI yang dulu. PSSI sekarang bisa lebih baik dari yang dulu. Dan, ketum PSSI saat ini tidak sedang menggunakan jabatannya sebagai batu loncatan pilkada 2024. Dan waketum saat ini bukan pihak yang ingin melakukan kudeta.

Sekaranglah saatnya PSSI melawan 'kutukan' keris Mpu Gandring (hanya istilah). Saatnya kita bekerja sama dan sama-sama kerja.

Semoga bermanfaat..